“Raiis Aam” Ujian Sesungguhnya

Suasana Muktamar ke-24 Nahdlatul Ulama (NU) Tahun 1969 di Surabaya itu berubah tegang. Kemenangan mutlak Kiai Bisri Syansuri atas Kiai Wahab Chasbullah dalam pemilihan raiis ’aam, dalam sekejap, kembali mentah. Dengan nada tinggi, melalui pengeras suara, Bisri berbicara, ”Selama masih ada Kiai Wahab, saya tidak akan jadi raiis ’aam. Lebih baik, sekarang kita tetapkan bersama Kiai Wahab sebagai Raiis ’Aam Nahdlatul Ulama!” Seperti dikomando oleh suatu kewibawaan yang tak tertandingi, muktamirin menyepakati ”perintah” Bisri. Kiai Wahab –yang saat itu sudah uzur– secara aklamasi kembali menjadi raiis ’aam. Sebagai tokoh yang lebih muda, Bisri tetap mengakui senioritas Wahab.

Demikian kenangan Chalid Mawardi atas peristiwa yang tak pernah bisa dilupakannya itu. ”Itulah akhlak ulama nahdliyin,” ungkap mantan Duta Besar RI untuk Suriah itu, medio Februari 2010. 

Menurut Chalid, kemenangan mutlak Kiai Bisri itu tak lepas dari upaya Subhan Z.E. yang mengupayakan dukungan wilayah dan cabang. Alasan Subhan sangat rasional: Kiai Wahab dianggap sudah uzur dan NU memerlukan tenaga segar untuk menghadapi Pemilu 1971. Ketika itu, NU masih menjadi Partai NU. Namun, ada argumentasi lain di atas rasionalitas Subhan itu, yakni penghargaan terhadap kapasitas keulamaan yang tak lekang hanya karena uzur atau alasan lain. Dengan penghargaan terhadap ulama seperti itulah NU bisa bertahan.

Dalam lintasan sejarah NU, peran sentral ulama selalu menjadi titik tengkar dengan ormas lain, seperti terjadi dalam MIAI (Majelis Islam A`la Indonesia) atau Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia). NU selalu menganggap peran ulama mereka ”dipinggirkan” oleh para intelektual Muslim perkotaan. Itulah salah satu alasan NU keluar dari Masyumi. Partai itu hanya membutuhkan dukungan suara umat , tetapi menyampingkan kebijakan ulama nahdliyin.
**

Dalam konteks Jawa Barat, pidato Ajengan Dahlan Cicarulang Tasikmalaya, Syuriah NU dekade 1930, mengingatkan pada pentingnya peran ulama itu. Dalam setiap pidato tablig NU, Dahlan selalu mengingatkan, mengapa organisasi itu bernama ”Nahdlatul Ulama”, bukan ”Nahdlatul Muslimin”. ”Karena yang harus bangun dan bangkit itu ulamanya. Kalau ulama sudah bangkit, umat akan mengikutinya,” katanya.

Catatan sejarah lain bisa dilihat pada Munas Ulama di Kaliurang (1981) dan Lampung (1992). Dalam Munas Kaliurang, secara mengejutkan, Kiai Ali Ma`shum terpilih sebagai raiis ’aam, menggantikan Kiai Bisri yang wafat pada 1980. Saat itu, Ali menjabat Raiis Syuriah NU Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, bukan pengurus PBNU.  Prof. Anwar Musaddad yang, secara ”urut kacang” seharusnya menggantikan Kiai Bisri, belum bisa diterima sebagai raiis ’aam  sekalipun tak ada yang meragukan kapasitas keulamaannya.

Demikian pula dalam Munas Lampung. Setelah Prof. K.H. Ali Yafie tak bersedia hadir, urutan di bawahnya adalah K.H. Yusuf Hasyim. Saat itu, Gus Dur langsung menolak kemungkinan pamannya itu menjadi raiis ’aam. ”Pak Ud (panggilan akrab K.H. Yusuf Hasyim) bukan ulama,  melainkan zuama (birokrat,-red.),” katanya.

Lagi-lagi, secara mengejutkan, Ajengan Ilyas Ruhiat terpilih sebagai penjabat sementara raiis ’aam. Padahal, semua peserta Munas tahu, Pak Ud adalah putra Hadlratus Syaikh Hasyim Asy’ari. Semua itu tak lain karena NU, secara konvensional, ingin tetap dipimpin oleh ulama yang bisa menguasai kitab-kitab kuning.
**

sekarang, dengan munculnya arus kuat pencalonan Hasyim Muzadi sebagai calon raiis ’aam dalam Muktamar ke-32 di Makassar, muncul pertanyaan, apakah NU sudah ”menurunkan” standar tinggi keulamaannya? Sekalipun kiai dan mengasuh pesantren mahasiswa, Hasyim dianggap belum selevel dengan Sahal Mahfudz, Ilyas Ruhiat, atau Achmad Siddiq.

Bahwa tantangan masa kini dan masa depan semakin kompleks, bukanlah khas era sekarang. Setiap era memiliki tantangannya sendiri. Dan, NU terbukti mampu mengatasinya karena satu hal: berhasil menjaga otoritas keulamaan. Selama otoritas keulamaan terpelihara, prinsip menjaga nilai-nilai lama yang baik dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik dapat dipertahankan.

Tantangan yang semakin kompleks itu, seharusnya, tidak menjadi alasan ”penurunan” standar keulamaan seorang raiis ’aam. Bukankah dalam setiap tantangan itu juga terdapat solusi untuk mengatasinya? Soal jarak, misalnya, sekarang sudah banyak alat komunikasi yang menihilkan jarak yang sangat jauh sekalipun. Dengan peranti komunikasi yang canggih, keperluan akan ”kehadiran” seorang raiis ’aam di Jakarta, bisa dilakukan setiap saat sekalipun sang ulama itu tinggal di pelosok. Masalahnya, tinggal pada kemauan pengurus lain untuk mempermudah dan menyelesaikan persoalan itu.

Kenangan Chalid di atas menegaskan satu hal: sehebat apa pun perubahan dunia di sekitar NU, tidak ada toleransi terhadap penurunan kualitas raiis ’aam. Pemimpin spiritual NU tetaplah harus yang paling     alim, paling memahami hukum agama (fakih) sehingga bisa menjadi tumpuan dalam penetapan fatwa.

Semua itu tentu kembali kepada muktamirin di Makassar nanti. Apakah akan mempertahankan akhlak ulama NU, seperti dicontohkan Bisri, atau menggantinya dengan etika baru dengan berbagai argumentasinya? Apakah alasan ”uzur”-nya Kiai Sahal akan dijadikan alasan untuk menghambat ulama asal Pati itu untuk kembali menjadi raiis ’aam? Apakah NU tetap sebagai jam’iyyah yang menjaga otoritas ulama atau tergiur akan kepentingan lain sehingga standar tinggi keulamaan raiis ’aam bisa dan boleh diturunkan? Inilah ujian sesungguhnya bagi NU. Wallaahualam. (Iip D. Yahya)***

Pos ini dipublikasikan di News / Berita. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar